PEREMPUAN yang mengalami depresi pada awal masa kehamilan berisiko lebih besar mengalami kelahiran prematur yang merupakan salah satu penyebab kematian bayi, demikian hasil riset yang dimuat jurnal Oxford University Press, Human Reproduction, terbitan Oktober.
Para ahli mewawancarai 791 wanita yang berada pada bulan ke-10 kehamilan di wilayah San Francisco dan mendapati bahwa 41 persen di antaranya melaporkan gejala depresi berarti, sementara 22 persen melaporkan gejala depresi parah.
Perempuan dengan gejala depresi parah menghadapi risiko hampir dua kali lebih besar melahirkan prematur atau masa kehamilan kurang dari 37 pekan. Sedangkan mereka yang mengalami gejala depresi berarti beresiko melahirkan prematur hingga 60 persen, ungkap riset yang dilakukan para ilmuwan di Kaiser Permanente Oakland, California.
Menurut penulis riset, Dr. De-Kun Li, ahli epidemiologi perinatal dan peneliti di lembaga tersebut, penemuan tentang kemungkinan penyebab kelahiran prematur yang sejauh ini belum banyak diketahui membuat hasil penelitian ini menjadi penting
Banyak ilmuwan mengkaji penyebab tingginya angka kematian bayi di Amerika Serikat, kata Li, namun mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. "Jika kami dapat menemukan sesuatu seperti depresi yang dapat diobati selama kehamilan, itu tentu sangat berarti," ujarnya.
Li berharap temuan dalam studi itu akan membuat "depresi antenatal" dikenal lebih luas seperti halnya depresi setelah melahirkan tau postpartum. Sejauh ini, kata Li, depresi selama kehamilan kerap diremehkan dan tidak diobati. "Bukan hanya oleh para wanita, tetapi juga oleh dokter mereka," tegasnya
Salah satu penyebab minimnya perhatian tersebut, kata Li, adalah masih kurang kuatnya bukti ilmiah tentang hubungan antara depresi selama hamil dan bahayanya bagi janin.
Studi tersebut juga mendapati bahwa perempuan yang lebih mungkin melaporkan gejala depresi cenderung berusia di bawah 25 tahun, tidak menikah, kurang terpelajar, miskin, berkulit hitam dan memiliki sejarah kelahiran prematur.
Para ahli mewawancarai 791 wanita yang berada pada bulan ke-10 kehamilan di wilayah San Francisco dan mendapati bahwa 41 persen di antaranya melaporkan gejala depresi berarti, sementara 22 persen melaporkan gejala depresi parah.
Perempuan dengan gejala depresi parah menghadapi risiko hampir dua kali lebih besar melahirkan prematur atau masa kehamilan kurang dari 37 pekan. Sedangkan mereka yang mengalami gejala depresi berarti beresiko melahirkan prematur hingga 60 persen, ungkap riset yang dilakukan para ilmuwan di Kaiser Permanente Oakland, California.
Menurut penulis riset, Dr. De-Kun Li, ahli epidemiologi perinatal dan peneliti di lembaga tersebut, penemuan tentang kemungkinan penyebab kelahiran prematur yang sejauh ini belum banyak diketahui membuat hasil penelitian ini menjadi penting
Banyak ilmuwan mengkaji penyebab tingginya angka kematian bayi di Amerika Serikat, kata Li, namun mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. "Jika kami dapat menemukan sesuatu seperti depresi yang dapat diobati selama kehamilan, itu tentu sangat berarti," ujarnya.
Li berharap temuan dalam studi itu akan membuat "depresi antenatal" dikenal lebih luas seperti halnya depresi setelah melahirkan tau postpartum. Sejauh ini, kata Li, depresi selama kehamilan kerap diremehkan dan tidak diobati. "Bukan hanya oleh para wanita, tetapi juga oleh dokter mereka," tegasnya
Salah satu penyebab minimnya perhatian tersebut, kata Li, adalah masih kurang kuatnya bukti ilmiah tentang hubungan antara depresi selama hamil dan bahayanya bagi janin.
Studi tersebut juga mendapati bahwa perempuan yang lebih mungkin melaporkan gejala depresi cenderung berusia di bawah 25 tahun, tidak menikah, kurang terpelajar, miskin, berkulit hitam dan memiliki sejarah kelahiran prematur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar